Lika-liku Wanita Ber-NPWP
Dalam Peraturan Pemerintah No. 80/2007, wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yang ingin melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya boleh mendaftarkan NPWP-nya sendiri. Apakah hal ini juga berlaku dengan Istri yang telah bekerja, tidak pisah harta, namun suaminya telah berNPWP?
Sebetulnya bagi wanita yang telah menikah dan tidak melakukan perjanjian pisah harta pada dasarnya boleh jika ingin mempunyai NPWP sendiri, tetapi itu tidak wajib. Ketika wanita itu tidak memilih untuk mempunyai NPWP sendiri maka boleh rnenggunakan NPWP suaminya. Karena sesuai dengan Pasal 8 UU PPh juga disebut bahwa pada dasarnya pajak itu mengakui satu keluarga merupakan satu kesatuan ekonomis; bahwa penghasilan dan kerugian istrinya juga nanti digabungkan dengan penghasilan suaminya.
Sebenarnya itu boleh saja rnenggunakan NPWP suaminya. Hanya saja mungkin dari sisi pemberi kerja itu butuhnya nama yang sama dengan karyawannya. Kalau yang tertulis di NPWP adalah nama suaminya, takut dianggap bukan karyawan sehingga pemotongannya dikenakan tarif yang lebih tinggi 20%. Kalau memang tidak mau menggunakan NPWP tersendiri, sebaiknya minta di•print lagi NPWP suami namun atas nama si istri. Jadi mungkin hanya kode belakangnya saja yang menjadi “001”.
Jadi pada dasarnya si wanita tersebut tidak wajib ber-NPWP. Kalau la ingin mendaftarkan dirinya sendiri sehingga NPWP-nya berbeda dari suaminya itu boleh saja. Hanya saja perlu diberikan pengertian ke HRD-nya. kalau karyawati bekerja bukan berarti harus mempunyai NPWP sendiri. Jadi kalau wanita yang tidak mempunyai NPWP sedangkan suaminya punya, ya pakai NPWP suaminya saja. Tapi kalau mau yang tercetak nama si istri sendiri sebagai karyawan, ya udah minta dicetak lagi NPWP-nya dengan kode belakang ”001”
Lalu bagaimana pelaporan pajak istri yang menggunakan kode belakang NPWP ”001” tersebut, apakah tetap ikut dengan suami atau terpisah ?
Sebetulnya kalau yang teknisnya hingga mendetil seperti itu saya sendiri belum tahu persis. Namun logikanya kalau seperti WP Badan yang mempunyai cabang. Jadi menurut saya yang wajib lapor itu adalah suami. Sedangkan penghasilan istri nanti akan diinformasikan di dalam SPT Tahunan suaminya, bahwa penghasilan istri yang berasal dari satu pemberi kerja sudah dipotong pajaknya tersendiri (final). Sampai sekarang sifatnya juga masih final kan
Sebenarnya untuk kepentingan apa saja wanita membuat NPWP sendiri ?
Kalau mempunyai NPWP sendiri ya mungkin akan lebih memudahkan suatu administrasi. Artinya (kayaknya saya bilang ‘misalnya’, bukan ‘artinya’) begini, ada juga suami istri yang ingin mengajukan KPR (Kredit Perumahan Rakyat) atas nama istri. Meskipun suami istri tersebut tidak mempunyai perjanjian pisah harta, namun istri ingin atas namanya, baik KPRnya maupun rumahnya. Noh dalam hal terjadi seperti itu, kebanyakan bank, setahu saya juga mensyaratkan NPWP-nya itu nama si istri sendiri. Meskipun kita jelaskan bahwa kalau kita tidak mempunyai perjanjian pisah harta, tapi rumahnya ingin atas nama istrinya, biasanya pihak bank akan menolak jika kita memakai NPWP suami, karena dokumen KPR atau lainnya itu paling tidak harus sama. Salah satu kelebihan lainnya, jika ada masalah keluarga. Misalnya ribut dengan suaminya, dia tidak perlu daftar NPWP lagi karena sudah punya NPWP sendiri. Benefit lainnya lagi dia juga bisa mendapatkan pembebasan Fiskal Luar Negeri. Saya belum tahu persis apakah nanti kalau pakai NPWP suaminya, istrinya juga bisa mendapatkan fasilitas pembebasan fiskal atau tidak, karena sampai sekarang belum ada peraturan yang menjelaskannya. Tapi yang jelas kalau di UU KUP, wanita yang sudah kawin dan tidak mempunyai perjanjian pisah harta itu boleh melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri dengan memiliki NPWP sendiri.
Kalaupun suami istri itu mempunyai perjanjian pisah harta ataupun tidak, lalu (hmm.. sepertinya saya bilang ”kalau” bukan ”lalu”) si istri ini memperoleh penghasilannya bukan dari satu pemberi kerja, misalnya dari kegiatan usaha atau lebih dari satu pemberi kerja, toh penghasilannya tetap digabung. Jumlah pajak peng hasilannya yang terutang juga harus dihitung dan penghasilan gabungan terlebih dahulu. Hanya saja nanti dibagi secara proporsional berapa pajak suami dan istri, sehingga akan ketahuan berapa kewajiban pajaknya masing-masing.
Kalau dari sisi penghematan pajak atau segala macam sih saya bilang enggak ada benefit yang terasa. Misalnya pajaknya akan lebih rendah karena pajaknya dihitung masing-masing. Enggak juga. Karena kalau satu keluarga apakah ia mempunyai perjanjian pisah harta atau tidak, suami istri perhitungan pajaknya kan harus digabung terlebih dahulu.
Jadi wanita yang kode belakang NPWP-nya ”001” kalau dia Ingin kewajiban pajaknya jadi satu dengan suami, Sedangkan kewajibannya Ingin sendiri, maka NPWP-nya pun berbeda, begitu ?
(sepertinya saya menjawab ‘Betul, tapi toh” namun kata “betul” tidak tertulis) Tapi toh tetap penghasilan istrinya diinformasikan di dalam SPT Tahunan suaminya bahwa sudah dikenakan pajak tersendiri, sehingga tidak perlu digunggung perhitungan Penghasilan Kena Pajaknya. Artinya dalam SPT Tahunan suami, penghasilan istri yang telah dikenakan pajak tersendiri juga tetap diinformasikan. ltu tujuannya supaya nanti ketika ada pengecekan daftar harta itu menjadi nyambung. Siapa tahu hartanya itu dibeli dari penghasilan bersama . Jadi jangan sampai penghasilan suaminya menjadi lebih rendah dari pertambahan harta misalnya, padahal harta itu sebenarnya telah diperoleh dari penghasilan istri yang tetah dikenakan pajak juga. Agar tidak menimbulkan pertanyaan atau mungkin asumsi orang pajak yang menganggap bahwa ada penghasilan yang tidak dilaporkan suami, karena itulah sebaiknya penghasilan istri tadi semestinya tetap diinformasikan.
Bagaimana untuk wanita yang belum dewasa, apakah dia juga bisa ber-NPWP?
Sebenarnya kalau anak yang belum dewasa pada dasarnya ikut dengan orang tuanya. Di Pasal 8 UU PPh juga diatur kalau untuk anak yang belum dewasa perlakuannya seperti itu. Bahkan di UU PPh baru, penghasilan anak yang belum dewasa darimanapun sumbernya. digabungkan dengan penghasilan orang tuanya. Penghasilan tersebut masuk ke dalam penghasilan ayahnya sebagai kepala keluarga. lalu kalau ada kredit pajak segala macam bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak SPT Tahunan ayahnya.
Tapi kalau ayahnya belum mempunyai NPWP?
Sebenarnya yang wajib mempunyai NPWP itu kepala keluarga. Semua orang yang sudah mempunyai penghasilan Itu kan wajib mempunyai NPWP, nah penghasilan ini kan tidak melulu dilihat dari penghasilan si ayahnya saja. Misalnya, katakan saja, ayahnya tidak bekerja tetapi mungkin anaknya potensial berpenghasilan besar, berarti ayahnya yang wajib mempunyai NPWP. Karena penghasilan anak yang belum dewasa dianggap sebagai penghasilan orang tua.
Bagaimana Jika anak yang sudah berpenghasilan ini yatim piatu ?
Tergantung, apakah orang tuanya sebelum meninggal sudah mempunyai NPWP atau belum. Kalau misalnya warisannya belum dibagi, maka si anak ini menggunakan NPWP orang tuanya. Karena penghasilan dari warisannya itu juga dilaporkan dari warisan yang belum terbagi, si anak yang belum dewasa ya lapornya tetap menggunakan NPWP orang tuanya tetapi subjeknya sudah berganti menjadi warisan yang belum terbagi.
Tapi bagaimana ketika dia menjadi yatim piatu orang tuanya ltu belum ber-NPWP, Apakah anaknya ini sudah diharuskan untuk mendaftar NPWP?
Semestinya sih ada walinya. Karena anak yang belum dewasa itu belum bisa melakukan tindakan hukum. Mempunyai NPWP itu kan salah satu tindakan hukum.
Jika pada saat menikah sang suami belum ber-NPWP, apakah suami tersebut harus mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP?
Kalau menurut saya solusinya bisa salah satunya. Kalau suaminya mau mendaftarkan, terus istrinya juga mempertahankan NPWP-nya sendiri. Jadi masing-masing mempunyai NPWP sendiri yah. Solusi yang lainnya, kalau dulu wanita kawin yang berNPWP itu kan harus dicabut karena mengikuti NPWP suaminya, kalau rnisalnya suaminya belum ber-NPWp, enggak usah dicabut tapi meminta perubahan nama menjadi nama suaminya. Kemudian kode belakang NPWP istrinya menjadi ”001” Bisa, itu dimungkinkan. Karena dengan adanya surat nikah dan lainnya, berarti sudah ada perbedaan status dibandingkan dengan sendiri atau masih lajang. Sehingga itu dimungkinkan.
Kalau misalnya ada suami istri bercerai dan diputuskan anaknya ikut dengan ibunya, lalu siapakah yang berhak atas tambahan PTKP anaknya itu?
Ibunya. Karena wanita yang tidak menikah, artinya sudah berpisah itu boleh menanggung tanggungan, seperti anak angkat atau anak kandung yang ikut dengannya. Dalam hal orang tuanya telah bercerai, lalu anaknya telah memperoleh penghasilan. Bila pengadilan sudah memutuskan secara legal anak tersebut ikut ibunya maka baik tambahan PTKP-nya maupun penghasilan dari si anak yang belum dewasa ini adalah milik ibunya.